Cerpen: Cerita Burung-burung oleh Ningspara. Awalnya aku tidak tahu siapa yang berbisik-bisik itu. Juga tidak jelas apakah suara itu suara apa. Suara manusiakah? atau makhluk lainnya. Aku tidak bisa membedakan. "Coba dengar," salah satu suara aneh itu berkata. "Kau dengar itu kan?"
Hening sejenak. Mungkin lawan bicara dari suara aneh itu mengangguk atau menggeleng. "Apa? Aku mendengar banyak suara di sini."
Lalu suara-suara lain yang mirip dengan suara yang bicara itu saling menyahut. Mereka terdengar bahagia. Saling mendukung. "Ya, pagi yang indah untuk mengatakan cinta."
Yang lainnya lagi mengatakan, "Jawablah cepat-cepat. Sebelum matahari panas dan kita harus kembali ke sarang."
Sarang? Tanyaku dalam hati. Kembali ke sarang? Lalu aku mendongak. Di kabel listrik di atasku, ada lima ekor burung-burung. Mungkinkah mereka yang berbicara itu? Bagaimana mungkin aku mengerti suara burung-burung. Kukucek mataku. Aku menghampiri daun-daunmangga yang masih berembun untuk mencuci muka, memastikan kalau aku sadar dan tidak dalam situasi mengantuk.
Sekarang burung-burung itu bukan lagi lima. Kadang enam, kadang tujuh. Mereka bergantian terbang.
"Jadi gimana? Apa yang ingin kau katakan ke hatiku?"
"Ya, tentu saja aku mau." jawab suara yang lain.
Aku tidak tahu yang mana di antara mereka yang bicara karena bagiku burung-burung gereja itu mirip semua. Beberapa dari antara mereka terbang lagi ke dahan-dahan mangga. Mereka berpencar dan saling berteriak riang. Mengabarkan kisah sepasang burung itu ke burung-burung gereja yang lainnya. Akhirnya kicauan burung-burung itu makin ramai. Mereka semuanya bahagia. Tak jelas lagi mereka mengatakan apa. Pokoknya mereka bernyanyi dan bergembira karena salah satu di antara mereka telah mengungkapkan cinta dan cinta itu diterima.
mereka bernyanyi dan bergembira karena salah satu di antara mereka telah mengungkapkan cinta dan cinta itu diterima.
Aku merasa ikut bahagia. Entah untuk sepasang burung gereja yang mengungkapkan cintanya itu atau karena sekarang aku memiliki kemampuan memahami bahasa burung-burung. Aku akan nongkrong lagi di sini besok dan seterusnya. Biar bisa mendengar cerita mereka setiap hari dan mendapat hiburan.
Lalu aku membandingkan burung-burung itu dengan manusia yang tinggal di rumah, di dekat pohon mangga ini. Kupikir manusia tidak seperti burung-burung. Manusia susah mengungkapkan perasaannya. Jangankan ke orang yang disukai, ke teman-temannya pun mereka enggan. Biasanya perasaan itu disimpan sendiri sampai nanti terwujud atau hilang ditelan waktu. Tentu perbedaan budaya burung dan manusia dalam hal mengungkapkan cinta ini bisa dimengerti dengan baik. Apalagi aku sudah sering mempelajari intercultural, yaitu seni berkomunikasi dengan mereka yang berbeda kebudayaan dari kita.
Ini kudapat dari tupai peliharaan yang punya rumah ini. Dulu dia tinggal di konservasi hutan dan ditemukan hampir tewas oleh pasangan bule yang bekerja di konservasi itu. Dia dirawat bule itu di dekat camp mereka dan dari sanalah dia belajar tentang hewan-hewan lainnya, yang setiap hari, dibicarakan orang bule itu. Juga tentang semua negara yang pernah mereka jalani. Perbedaan tingkah monyet, kera, orang utan, juga manusia di banyak negara. Walaupun yang lebih banyak mereka bahas adalah bagaimana cara mendekati bangsa monyet, terutama orang utan. Karena pengobatan temanku si tupai itu belum cukup, dia dibawa ke kota. Diobati oleh dokter hewan kesepian yang tinggal sendirian di rumah ini.
Setelah sembuh, temanku kembali dibawa ke alam bebasnya. Ah, kenapa jadi bahas teman tupaiku itu ya? Mungkin aku merindukan dia.
Jadi, kembali lagi pada perbedaan burung-burung dan dokter itu. Dia sering melihat kami. Maksudku, hewan-hewan yang tinggal di pekarangan rumahnya. Burung-burung, aku, kupu-kupu, semut-semut, semua disukainya. Kecuali rayap. Kenapa aku bisa tahu? Karena dia selalu tersenyum kalau melihat kami. Pertama sekali, bahasa yang kutahu selain bahasa tupai adalah bahasa manusia. Mungkin karena dia menginginkan aku mengerti pembicaraannya dan Tuhan mengabulkan.
Penggalan lirik "Aut Boi Nian" yang artinya: Ternyata aku bukan yang hatimu mau. Kau meninggalkanku sendirian. |
Sekali waktu dia bilang, "Tupai, kamu tahu nggak, kalau manusia itu, tidak ada yang benar-benar berteman. Mereka memang mengaku saling mendukung. Tapi di dalam hatinya, mereka saling iri dan saling berkompetisi. Ini bukan aku yang bilang. Tapi Lala Bohang." Lalu dia menunjuk ke benda segi empat yang dia namai Lala Bohang. Tentu saja awalnya aku tidak percaya kalau benda segi empat itu bisa berbicara. Soalnya aku tidak melihat mulutnya atau kupikir benda itu mati. Hanya terdiri dari lembaran-lembaran kertas saja. Tetapi aku jadi percaya karena buktinya dia melihat ke dalam lembarannya dan mengatakan kaliamat-kalimat yang indah dan aneh dan dia selalu bilang kalau benda segi empat itu bicara padanya. Lama-lama aku percaya saja.
manusia itu, tidak ada yang benar-benar berteman. Mereka memang mengaku saling mendukung. Tapi di dalam hatinya, mereka saling iri dan saling berkompetisi
"Tupai, kamu tahu tidak, kawan-kawanku itu selalu menjodohkanku ke dokter Sin. Padahal aku kan suka pada dokter Min. Sayangnya dia sudah beristri. Anaknya sepasang kembar. Istrinya cantik. Mantan putri pariwisata. Aku berdosa tidak kalau mendoakan dia cepat jadi duda?" Dia diam sejenak. Lalu berbicara lagi, "Sialnya dokter Sin itu menyambut perjodohan itu. Dia memang baik. Lucu. Bisa bikin manusia tertawa. Jarang-jarang ada dokter yang begitu. Aku senang bicara sama dia. Tapi mataku ini seperti ada penutup. Aku tidak bisa menyukai dia. Susah membalas cinta seseorang, apabila kau sedang jatuh cinta dengan orang lain. Dan tidak ada seorangpun dari temanku yang bisa membaca pikiranku. Dan aku tidak pernah bicara pada mereka. Apa menurutmu aku harus bicara?"
Susah membalas cinta seseorang, apabila kau sedang jatuh cinta dengan orang lain.
Tentu saja aku tidak menjawab. Aku juga pura-pura tidak mendengarkan. Kalau dia bicara begitu, aku biasanya mondar-mandir, keluar masuk rumahku dan melompati pohon-pohon mangga. Aku takut kalau dia tahu aku bisa mendengarkan curhatnya, dia bisa berhenti berbicara karena takut.
Setiap dia punya kesempatan, pagi dan sore, dia selalu menceritakan tentang teman-temannya, dokter Sin dan dokter Min juga cerita-cerita lainnya yang tentu saja berhubungan dengan tiga hal itu.
"Apa menurutmu aku harus mengatakan ke teman-temanku untuk berhenti menjodohkanku ke dokter Sin? Ah, tetapi kasihan. Dia orang baik," tanya manusia itu lagi.
Related Post
Related Post
No comments:
Post a Comment