Gembira di Bukit Jamur Bengkayang Kalimantan Barat. Aku sampai di gereja dan seorang teman yang saat itu bertugas sebagai usher bertanya, “Gimana bukit jamurnya? Bagus kan?”
Aku menarik bibir ke samping kiri kanan dan mengangkat bahu, “Biasa aja.”
“Mungkin karena cuacanya," jawabnya.
Dari nada suaranya tersirat kalimat bahwa menurut dia, Bukit Jamur adalah sebuah tempat indah, yang memang layak didatangi. Kemungkinan besar dia sudah pernah ke sana. Makanya dia terdengar tidak terima dengan jawabanku.
Bukit Jamur adalah tempat yang barangkali membuat kita bersyukur bahwa di bumi Kalimantan Barat ini ada tempat sederhana yang indah yang dinamai Bukit Jamur. Katanya ketinggian Bukit Jamur hanya 500 mdpl, ketinggian yang sangat mudah dijangkau. Tuhan menghendaki manusia mengunjunginya. Tuhan meletakkan Bukit Jamur di Kalimantan Barat. Aku jadi merasa bersalah menjawab ‘biasa aja’.
Pagi hari sebelum turun
Padahal, aku sendiri mengalami
banyak hal yang lucu dan indah di sana. Mulai dari menertawakan teman yang
tergelincir, berbagi roti manis dan susu kental manis yang sebenarnya bukan
susu, melihat teman membawakan barang bawaan teman yang lain, cuci muka di
sungai kecil jernih dan segar yang memotong perjalanan ke sana, menikmati waktu
mendaki yang seharusnya bisa satu jam akhirnya menjadi dua jam karena sepatu
teman yang licin, dan kejadian remeh-temeh yang mungkin akan lebih terekam
dalam memori dari pada keindahan ‘samudera di atas awan’ yang tidak datang mendekat pagi
itu.
Jalur pendakian cukup mudah, melewati sawah para petani. Jalur tersebut juga biasa dilewati warga.
Kami berangkat dari Pontianak
menggunakan sepeda motor sekitar pukul 11 Siang, 9 Desember. Di bulan yang
tidak disarankan bepergian karena hujan mendominasi langit dan bumi. Awalnya,
perjalanan tampak tidak licin sama sekali hingga sampailah di penghujung
perjalanan. Entah berapa meter jalanan licin itu, yang membuat temanku
ketakutan dan aku, tertawa di dekatnya, bukan menertawai dia yang takut jatuh
dan terpeleset. Syukurnya dia tidak marah apalagi kalau sampai ngambek.
Ah, tidak tahu seberapa besar rasa terimakasih pada Bukit Jamur karena rasa
gembira itu.
Kami sampai di Bengkayang memang
sudah sore. Kalau tak salah sudah pukul lima. Kami makan di rumah makan Padang
kemudian menitipkan motor di rumah warga, lalu mendaki. Tidak lama, terdengar
adjan Magrib ketika kami di jalan. Hampir mencapai bukit, jalanan sudah gelap.
Harus pakai senter. Makin ketakutanlah teman kami itu dan aku makin ingin
tertawa. Tetapi tidak enak hati. Maafkan. Bukan berarti aku menari di atas penderitaan orang lain,
tetapi aku kerap tertawa pada penderitaan maupun kebahagiaan. Sama seperti
manusia yang menangis pada duka cita dan kebahagiaan. Eak!
Di Bukit Jamur banyak batu-batu besar yang tentu saja, bagus difoto. Selain itu kita bisa memandang dari sini dan juga bisa merenung
Kami terus melambat, tidak lagi
ada cerita tentang matahari terbenam yang ingin difoto di ujung bukit. Tetapi tidak ada pula
yang disesalkan. Karena satu momen hilang, momen lain diperoleh. Momen
kebersamaan, saling membantu.
Sampai di atas, aku baru tahu
kalau kami bukan orang gila yang mengunjungi Bukit Jamur pada musim hujan.
Lebih dari lima grup sudah mendirikan tenda. Setelah kami sampai, masih ada juga yang berdatangan. Hore. Hore! Atau setidaknya, kalau
kami gila, kami tidak gila sendirian.
Malamnya, kami membangun tenda.
Beberapa orang teman pergi agak ke atas. Katanya mencari ranting untuk api.
Mereka turun membawa kabar, “Di sana lebih datar, pindah yok. Ada juga grup di
sana.”
Pemandangan pagi hari, saat matahari terbit. Foto dari galeri Linda
Kami pun mengangkat tenda yang
sudah dipasang tanpa membongkar kembali. Agak menyesal naik ke atas karena grup
yang di sana memasang musik ala-ala disko. Gagallah mendengar suara jangkrik
malam. Atau, malah jangkrik-jangkrik bahagia? Mereka berdansa karena kehadiran
musik? Entahlah. Belum pernah pula kudatangi kerajaan jangkrik.
Aku dan Yurisa berbaring dan
menatap ke atas. Cahaya Bintang yang tampak, banyak. Tetapi tidak sebanyak saat
musim kemarau. Yurisa menceritakan kalau nama penanya, ‘Yuri Algedi’
terinspirasi dari salah satu bintang paling terang di rasi bintang Capricon.
Wow.
Masih banyak yang kami bicarakan
sebelum ngantuk (barangkali tidak sekarang waktu menuliskannya.) Kami tidur
berlima, kesempitan di tenda yang katanya berkapasitas enam orang. Hahaha (tapi
bersyukur sempit karena lebih hangat).
Singgah di air terjun Tikalong, sangat dekat dengan jalan besar
Teman kami yang lain tidur di
tenda masing-masing. Kami bersepuluh dan punya empat tenda.
Paginya, seperti kebiasaan ‘anak
kota’ dan ‘kids zaman now’, foto-foto dimulai. Masih ingat kalimat : Anak kota,
pergi ke pantai, gunung, bukit, dll pasti foto-foto. Habis batre baru pulang.
Itulah memang yang terjadi. Menyimpan sebuah momen dalam bentuk gambar adalah
baik.
Kami turun, kejadian melambat
seperti menaik terulang lagi. Bukan karena jalan tidak terlihat, tetapi
kesalahan memakai sepatu oleh teman kami. Lebih dari satu jam 40 menit kami
turun. Setelah itu makan di rumah makan Padang yang sama. Lalu singgah di air
terjun Tikalong yang ternyata sangat dekat dengan jalan raya. Wow. Beberapa
orang mandi, termasuk aku.
Yurisa, membawa pulang sampah plastik dari atas bukit dan dari perjalanan
Lalu, kami pulang dan tak
henti-hentinya mengatakan: Perjalanan kita diberkati. Thanks to God.
Tidak ada hujan sama sekali sejak
kami naik hingga kami pulang sampai ke Pontianak pada 10 Desember. Padahal,
Hari Jumat sampai Sabtu pagi hujan terus mengguyur. Tapi kami optimis akan
pergi. Di jalan pun, tak henti-hentinya kami dikerjai hujan. Gerimis-gerimis
manjanya membasahi perjalanan kami.
Cerita ini bukan sebuah cerita
wah. Yang mirip dengan film Into The Wild, Point Break, The Jungle, atau
documenter dari National Geograpic. Tetapi cerita ini layak dikenang,
dituliskan apalagi dibaca. Kegembiraan bukan tentang seberapa banyak emas yang
kamu dapat, bukan?
Salam dari kami: Edi, Lau, Linda,
Mansyur, Nings, Pitri, Siska, Rony, Udin, Yurisa.
No comments:
Post a Comment